Senin, 23 Mei 2016

Cerita saya (bag. 2)

Ini adalah lanjutan cerita saya sebelumnya

Bagian II

Keluarga kami tinggal jauh dari keramaian, dimana akses terhadap berita dan informasi sangat terbatas, rutinitas sehari-hari yang jauh dari interaksi dengan manuasia lain, sumber berita hanya TVRI yang jam tontonannya pun dibatasi, tapi bukan berarti orang tua saya punya pola yang terbatas juga. Prinsip hidup dari orang tua saya adalah bahwa anak-anaknya harus lebih baik dari mereka, dan sekolah itu adalah sebuah keharusan. Ya, orang tua saya mengharuskan anak-anaknya untuk bersekolah, tidak ada alasan buat tidak sekolah walaupun kalau mau mencari alasan, orang tua saya dengan mudah menggunakan alasan ekonomi kami dan semua orang akan memakluminya.

Dalam hal menyekolahkan anak-anaknya, saya akui ibu saya adalah manajer finansial yang handal. Penghidupan kami bergantung dari penghasilan bapak buat kehidupan sehari-hari dan hasil ladang untuk hal-hal yang memerlukan biaya besar. Ibu punya perhitungan yang sangat jitu dalam mengelola keuangan. Beliau akan menaksir kapan saatnya kami butuh uang banyak, misal buat bayar uang sekolah, dan menyesuaikan tanaman di ladang untuk memenuhi hal tersebut. Ibu mencatat kapan tanggal jagung harus ditanam bila hasil panennya nanti akan digunakan buat uang kuliah kakak saya misalnya. Apakah perhitungannya selalu tepat? Tentu tidak. Bertani harus mempertimbangkan segala macam resiko seperti hama, harga jual yang murah, bibit palsu, atau musim yang tidak bersahabat. Pernah suatu kali hasil panen jagung kami hampir 80 persen busuk karena musim hujan yang berkepanjangan. Atau hasil panen tomat yang berlimpah tetapi harga jual hanya 100 rupiah per kilogram-nya. Atau semangka yang tidak berbuah karena kemarau panjang. Bayangkan hal ini terjadi ketika 4 orang kakak saya sedang membutuhkan uang kuliah pada waktu yang bersamaan (saya punya 4 kakak perempuan, 3 abang, dan satu adik laki-laki). Hal-hal diluar prediksi tersebut kadang mengharuskan ibu saya berhutang kepada orang lain buat memenuhi kebutuhan yang mendesak. Alhamdulillah, ibu saya selalu memenuhi janjinya dalam hal membayar hutang, sehingga kepercayaan orang tidak pernah luntur terhadap ibu saya. Satu hal yang selalu saya ingat dari ibu saya tentang hutang, beliau tidak pernah berhutang untuk makan. Eat what available, and don’t complain. Maksudnya adalah, kalau yang tersedia di meja makan hanya sambal teri, jangan ngotot minta sambal ayam. Kami tidak menjadi anak-anak yang manja dan gampang mengeluh karenanya. 

Manajemen finansial ibu saya ini berhasil menghidupi keluarganya dengan makan cukup tiga kali sehari, tidak mewah dan jarang bersisa, juga berhasil membiayai anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang layak. 9 bersaudara, 7 orang sarjana (hanya karena abang saya yang pertama dan adik saya, si bungsu, memutuskan tidak mau kuliah). Dalam keluarga kami tidak ada pertanyaan apakah saya boleh melanjutkan sekolah atau tidak, pertanyaannya adalah mau apa tidak?
Memang waktu itu bapak ibu saya meminta kami untuk bersekolah di Bengkulu saja, karena dekat. Kalau kehabisan uang bisa pulang ke rumah, walaupun tidak ada beras bisa merebus singkong yang selalu tersedia di kebun. Sayur-mayur dan bumbu dapur tinggal petik dan bisa sesekali makan daging ayam yang memang dipelihara keluarga. Sekolah harus, tapi juga tetap harus rasional dengan kemampuan keluarga, begitu maksudnya.

Saya sempat khawatir kalo saya tidak diijinkan bersekolah di pulau Jawa waktu itu. Entah memang rejeki atau apa, saya diterima di kampus tertua Indonesia yang berada di Yogyakarta melalui jalur PBUD (Penyeleksian Bibit Unggul Daerah… jadi berasa seperti bibit jagung…hehehehe). Berat, tapi orang tua merestui, entah karena nama universitasnya memang cukup mentereng atau pada saat itu sebagain besar kakak-kakak saya sudah lulus kuliah sehingga mungkin jadi tidak terlalu berat buat keluarga. Jadilah saya bisa merasakan berkuliah di Pulau Jawa. Walaupun saya hanya sanggup nge-kos ditempat yang kalo musim hujan kamar saya saya jadikan miniatur pantai dan main kapal-kapalan, satu nasi bungkus buat makan dua kali, buku mengandalkan apa yang ada di perpustakaan, ngetik skripsi nebeng komputer teman, nge-mall hanya kalo diajak teman, itupun sayanya ya cuci mata saja..hehehe…

Karena kuliah dan jauh dari rumah saya bisa merasakan betapa hebat ibu saya. Bagaimana makan pagi itu penting, (saya mulai mengenal maag sejak kuliah). Bagaimana kemampuan memasak itu penting (walaupun di Jogja, memasak kadang lebih mahal dari membeli makanan siap saji). Bagaimana menabung dan membuat “spending priority”. Dan bagaimana-bagaimana lainnya yang membuat saya bisa menyelesaikan kuliah saya dalam waktu empat setengah tahun saja…..

Kamis, 19 Mei 2016

Cerita Saya

Ini adalah cerita tentang saya.

Bagian I.

Ibu saya adalah ibu rumah tangga dan seorang petani. Beliau lulusan sekolah guru (setingkat SMA) dan sempat mencicipi pekerjaan guru formal di sekolah. Sayangnya krisis ekonomi (saya lupa tahunnya, dimana uang 1000 rupiah hanya bernilai 1 rupiah) menjadikan arti gaji seorang guru tak lebih dari selembar kertas yang bahkan tidak bisa digunakan untuk membeli beras. Kata ibu saya, uang gaji ibu bahkan dijadikan kertas buat melinting tembakau oleh kakek saya. Ibu saya memutuskan berhenti menjadi guru dan mulai fokus bertani di sepetak tanah yang diberikan oleh kakek saya. Waktu itu abang saya yang pertama dan kedua telah lahir.
Bapak saya, lahir ditanah karo dimana sebagian besar masyarakatnya masih menganut paham animism pada masa itu (Beliau menjadi seorang mualaf ketika menikah dengan ibu saya). Bapak bersekolah tidak sampai tamat Sekolah Rakyat (setingkat SD) tapi memiliki minat membaca yang sangat tinggi (sampai sekarang). Beliau pernah bergabung di militer bagian radio (komunikasi). Tapi memang Bapak merupakan sosok yang tidak bisa dikekang atau diatur, beliau keluar dari militer. Kami anak-anaknya seringkali mencandai bapak soal ini. Seandainya bapak tidak ‘bandel’ waktu , mungkin kami terlahir sebagai anak-anak jenderal! Yang kemudian ditimpali oleh yang lain dengan “atau tidak terlahir sama sekali” :P

Keadaan ekonomi yang sulit membuat orang tua saya memutuskan untuk merantau ke Bengkulu, negeri antah berantah buat mereka saat itu. Dengan hanya mengandalkan komunikasi dengan komunitas warga batak yang mereka temui di kota Curup. Bapak akhirnya mendapatkan pekerjaan di sebuah terminal angkutan umum, sebagai agen penjual karcis/tiket, sedangkan ibu saya mengurus rumah dan anak-anak. Ada kalanya mereka juga berjualan kecil-kecilan, tapi lagi-lagi bapak saya dengan karakternya yang unik itu tidak punya bakat sebagai pedagang. Kata ibu saya, beliau suka marah-marah kalo harga barangnya ditawar sehingga pembelinya kabur..hahahaha
Menyadari hanya dengan mengandalkan ketidakpastian penghasilan bapak di terminal dan hasil berdagang yang tidak seberapa itu tadi. Ibu memutuskan untuk kembali bertani. Pertanyaan yang muncul adalah, bertani dimana? Kami tidak punya tanah yang bias dijadikan lahan. Rumah saja masih mengontrak. Untungnya ada saudara bapak yang memiliki lahan di Curup dan membutuhkan orang untuk mengurusnya. Jadinya diputuskan, bapak tetap bekerja di terminal, ibu bertani. Dan dilahan itu, bapak dan ibu membangun gubuk kecil sebagai tempat tinggal, daripada menyewa rumah. Di rumah kecil itulah saya dibesarkan, keluarga kami pindah ke rumah itu waktu saya belum berumur satu tahun.

Kehidupan terus berjalan. Bapak bekerja di terminal, ibu bertani. Sistem yang dibangun oleh keluarga saya adalah: subuh semua harus bangun, mulai dengan tanggung-jawab pekerjaan masing-masing. Iya, kami anak-anak sudah diserahi tanggungan pekerjaan  rumah rutin yang harus diselesaikan sebelum berangkat sekolah. Misalnya kakak saya bertugas menyapu halaman, saya menyapu rumah, ada yang bertugas mencuci piring sisa makan malam, ibu memasak di dapur menyiapkan sarapan buat semuanya. Dan semua pekerjaan itu harus selesai sebelum kami bisa mandi dan bersiap berangkat ke sekolah. Kadang ini menjadi kompetisi tersendiri diantara kami. Siapa yang palig cepat menyelesaikan tugasnya, maka ia berhak mandi terlebih dahulu, bersiap lebih cepat dan bisa berangkat ke sekolah berjalan kaki dan menghemat ongkos angkutan umum demi uang jajan. Orang tua kami tidak pernah memberikan uang jajan buat anak-anaknya ke sekolah. Selain karena kami bukan orang berada, ibu saya lebih percaya masakan yang dibuatnya sendiri. Kami tidak akan mendapatkan ongkos berangkat ke sekolah sebelum menghabiskan sarapan pagi.


Pulang sekolah, makan siang biasanya sudah siap di meja makan. Setelah beristirahat sebentar, kami akan membantu ibu di ladang, entah itu mencangkul, menyiangi rumput, menanam jagung atau apapun pekerjaan yang ada. Salah satu dari kami biasanya ditugasi menyiapkan makan malam, sementara yang lain tetap bekerja di ladang. Sore hari, semua membersihkan diri, bersiap makan malam dan bagi yang bersekolah keesokan harinya, setelah makan malam, harus mengeluarkan buku pelajaran, entah itu mengerjakan pe-er, atau sekedar membaca. Semua harus siap, karena jam 9 malam, semua harus tidur. Rumah kami yang jauh dari keramaian saat itu hanya mengandalkan listrik dari batere aki buat menyalakan tipi dan lampu petromak buat penerangan malam. Jam 9 malam, lampu petromak akan dimatikan, TV tidak boleh lagi menyala dan penerangan hanya denga lampu minyak kecil buat menemani tidur. Jam malam yang lebih dari jam 9 malam hanya berlaku malam minggu atau malam hari libur lainnya. Ini adalah rutinitas yang diterapkan dan sangat disiplin ditegakkan oleh ibu saya. Saya rasa, karena aktifitas kami yang penuh seharian (apalagi aktifitas berladang), gelapnya malam dan rumah yang jauh dari keramaian membuat tidur kami menjadi tidur yang berkualitas :P

Bersambung....