Ini adalah cerita tentang saya.
Bagian I.
Ibu saya adalah ibu rumah tangga dan seorang petani. Beliau
lulusan sekolah guru (setingkat SMA) dan sempat mencicipi pekerjaan guru formal
di sekolah. Sayangnya krisis ekonomi (saya lupa tahunnya, dimana uang 1000 rupiah hanya bernilai 1 rupiah) menjadikan arti gaji seorang
guru tak lebih dari selembar kertas yang bahkan tidak bisa digunakan untuk
membeli beras. Kata ibu saya, uang gaji ibu bahkan dijadikan kertas buat melinting tembakau oleh kakek saya. Ibu saya memutuskan berhenti menjadi guru dan mulai fokus
bertani di sepetak tanah yang diberikan oleh kakek saya. Waktu itu abang saya
yang pertama dan kedua telah lahir.
Bapak saya, lahir ditanah karo dimana sebagian besar
masyarakatnya masih menganut paham animism pada masa itu (Beliau menjadi
seorang mualaf ketika menikah dengan ibu saya). Bapak bersekolah tidak sampai
tamat Sekolah Rakyat (setingkat SD) tapi memiliki minat membaca yang sangat
tinggi (sampai sekarang). Beliau pernah bergabung di militer bagian radio
(komunikasi). Tapi memang Bapak merupakan sosok yang tidak bisa dikekang atau
diatur, beliau keluar dari militer. Kami anak-anaknya seringkali mencandai bapak
soal ini. Seandainya bapak tidak ‘bandel’ waktu , mungkin kami terlahir sebagai
anak-anak jenderal! Yang kemudian ditimpali oleh yang lain dengan “atau tidak
terlahir sama sekali” :P
Keadaan ekonomi yang sulit membuat orang tua saya memutuskan
untuk merantau ke Bengkulu, negeri antah berantah buat mereka saat itu. Dengan
hanya mengandalkan komunikasi dengan komunitas warga batak yang mereka temui di
kota Curup. Bapak akhirnya mendapatkan pekerjaan di sebuah terminal angkutan
umum, sebagai agen penjual karcis/tiket, sedangkan ibu saya mengurus rumah dan
anak-anak. Ada kalanya mereka juga berjualan kecil-kecilan, tapi lagi-lagi
bapak saya dengan karakternya yang unik itu tidak punya bakat sebagai pedagang.
Kata ibu saya, beliau suka marah-marah kalo harga barangnya ditawar sehingga
pembelinya kabur..hahahaha
Menyadari hanya dengan mengandalkan ketidakpastian
penghasilan bapak di terminal dan hasil berdagang yang tidak seberapa itu tadi.
Ibu memutuskan untuk kembali bertani. Pertanyaan yang muncul adalah, bertani
dimana? Kami tidak punya tanah yang bias dijadikan lahan. Rumah saja masih
mengontrak. Untungnya ada saudara bapak yang memiliki lahan di Curup dan
membutuhkan orang untuk mengurusnya. Jadinya diputuskan, bapak tetap bekerja di
terminal, ibu bertani. Dan dilahan itu, bapak dan ibu membangun gubuk kecil
sebagai tempat tinggal, daripada menyewa rumah. Di rumah kecil itulah saya
dibesarkan, keluarga kami pindah ke rumah itu waktu saya belum berumur satu
tahun.
Kehidupan terus berjalan. Bapak bekerja di terminal, ibu
bertani. Sistem yang dibangun oleh keluarga saya adalah: subuh semua harus
bangun, mulai dengan tanggung-jawab pekerjaan masing-masing. Iya, kami
anak-anak sudah diserahi tanggungan pekerjaan
rumah rutin yang harus diselesaikan sebelum berangkat sekolah. Misalnya
kakak saya bertugas menyapu halaman, saya menyapu rumah, ada yang bertugas
mencuci piring sisa makan malam, ibu memasak di dapur menyiapkan sarapan buat
semuanya. Dan semua pekerjaan itu harus selesai sebelum kami bisa mandi dan bersiap
berangkat ke sekolah. Kadang ini menjadi kompetisi tersendiri diantara kami.
Siapa yang palig cepat menyelesaikan tugasnya, maka ia berhak mandi terlebih
dahulu, bersiap lebih cepat dan bisa berangkat ke sekolah berjalan kaki dan
menghemat ongkos angkutan umum demi uang jajan. Orang tua kami tidak pernah
memberikan uang jajan buat anak-anaknya ke sekolah. Selain karena kami bukan
orang berada, ibu saya lebih percaya masakan yang dibuatnya sendiri. Kami tidak
akan mendapatkan ongkos berangkat ke sekolah sebelum menghabiskan sarapan pagi.
Pulang sekolah, makan siang biasanya sudah siap di meja
makan. Setelah beristirahat sebentar, kami akan membantu ibu di ladang, entah
itu mencangkul, menyiangi rumput, menanam jagung atau apapun pekerjaan yang
ada. Salah satu dari kami biasanya ditugasi menyiapkan makan malam, sementara
yang lain tetap bekerja di ladang. Sore hari, semua membersihkan diri, bersiap
makan malam dan bagi yang bersekolah keesokan harinya, setelah makan malam,
harus mengeluarkan buku pelajaran, entah itu mengerjakan pe-er, atau sekedar
membaca. Semua harus siap, karena jam 9 malam, semua harus tidur. Rumah kami
yang jauh dari keramaian saat itu hanya mengandalkan listrik dari batere aki
buat menyalakan tipi dan lampu petromak buat penerangan malam. Jam 9 malam,
lampu petromak akan dimatikan, TV tidak boleh lagi menyala dan penerangan hanya
denga lampu minyak kecil buat menemani tidur. Jam malam yang lebih dari jam 9
malam hanya berlaku malam minggu atau malam hari libur lainnya. Ini adalah
rutinitas yang diterapkan dan sangat disiplin ditegakkan oleh ibu saya. Saya rasa, karena aktifitas kami yang penuh seharian (apalagi
aktifitas berladang), gelapnya malam dan rumah yang jauh dari keramaian membuat
tidur kami menjadi tidur yang berkualitas :P
Bersambung....