Kamis, 19 Mei 2016

Cerita Saya

Ini adalah cerita tentang saya.

Bagian I.

Ibu saya adalah ibu rumah tangga dan seorang petani. Beliau lulusan sekolah guru (setingkat SMA) dan sempat mencicipi pekerjaan guru formal di sekolah. Sayangnya krisis ekonomi (saya lupa tahunnya, dimana uang 1000 rupiah hanya bernilai 1 rupiah) menjadikan arti gaji seorang guru tak lebih dari selembar kertas yang bahkan tidak bisa digunakan untuk membeli beras. Kata ibu saya, uang gaji ibu bahkan dijadikan kertas buat melinting tembakau oleh kakek saya. Ibu saya memutuskan berhenti menjadi guru dan mulai fokus bertani di sepetak tanah yang diberikan oleh kakek saya. Waktu itu abang saya yang pertama dan kedua telah lahir.
Bapak saya, lahir ditanah karo dimana sebagian besar masyarakatnya masih menganut paham animism pada masa itu (Beliau menjadi seorang mualaf ketika menikah dengan ibu saya). Bapak bersekolah tidak sampai tamat Sekolah Rakyat (setingkat SD) tapi memiliki minat membaca yang sangat tinggi (sampai sekarang). Beliau pernah bergabung di militer bagian radio (komunikasi). Tapi memang Bapak merupakan sosok yang tidak bisa dikekang atau diatur, beliau keluar dari militer. Kami anak-anaknya seringkali mencandai bapak soal ini. Seandainya bapak tidak ‘bandel’ waktu , mungkin kami terlahir sebagai anak-anak jenderal! Yang kemudian ditimpali oleh yang lain dengan “atau tidak terlahir sama sekali” :P

Keadaan ekonomi yang sulit membuat orang tua saya memutuskan untuk merantau ke Bengkulu, negeri antah berantah buat mereka saat itu. Dengan hanya mengandalkan komunikasi dengan komunitas warga batak yang mereka temui di kota Curup. Bapak akhirnya mendapatkan pekerjaan di sebuah terminal angkutan umum, sebagai agen penjual karcis/tiket, sedangkan ibu saya mengurus rumah dan anak-anak. Ada kalanya mereka juga berjualan kecil-kecilan, tapi lagi-lagi bapak saya dengan karakternya yang unik itu tidak punya bakat sebagai pedagang. Kata ibu saya, beliau suka marah-marah kalo harga barangnya ditawar sehingga pembelinya kabur..hahahaha
Menyadari hanya dengan mengandalkan ketidakpastian penghasilan bapak di terminal dan hasil berdagang yang tidak seberapa itu tadi. Ibu memutuskan untuk kembali bertani. Pertanyaan yang muncul adalah, bertani dimana? Kami tidak punya tanah yang bias dijadikan lahan. Rumah saja masih mengontrak. Untungnya ada saudara bapak yang memiliki lahan di Curup dan membutuhkan orang untuk mengurusnya. Jadinya diputuskan, bapak tetap bekerja di terminal, ibu bertani. Dan dilahan itu, bapak dan ibu membangun gubuk kecil sebagai tempat tinggal, daripada menyewa rumah. Di rumah kecil itulah saya dibesarkan, keluarga kami pindah ke rumah itu waktu saya belum berumur satu tahun.

Kehidupan terus berjalan. Bapak bekerja di terminal, ibu bertani. Sistem yang dibangun oleh keluarga saya adalah: subuh semua harus bangun, mulai dengan tanggung-jawab pekerjaan masing-masing. Iya, kami anak-anak sudah diserahi tanggungan pekerjaan  rumah rutin yang harus diselesaikan sebelum berangkat sekolah. Misalnya kakak saya bertugas menyapu halaman, saya menyapu rumah, ada yang bertugas mencuci piring sisa makan malam, ibu memasak di dapur menyiapkan sarapan buat semuanya. Dan semua pekerjaan itu harus selesai sebelum kami bisa mandi dan bersiap berangkat ke sekolah. Kadang ini menjadi kompetisi tersendiri diantara kami. Siapa yang palig cepat menyelesaikan tugasnya, maka ia berhak mandi terlebih dahulu, bersiap lebih cepat dan bisa berangkat ke sekolah berjalan kaki dan menghemat ongkos angkutan umum demi uang jajan. Orang tua kami tidak pernah memberikan uang jajan buat anak-anaknya ke sekolah. Selain karena kami bukan orang berada, ibu saya lebih percaya masakan yang dibuatnya sendiri. Kami tidak akan mendapatkan ongkos berangkat ke sekolah sebelum menghabiskan sarapan pagi.


Pulang sekolah, makan siang biasanya sudah siap di meja makan. Setelah beristirahat sebentar, kami akan membantu ibu di ladang, entah itu mencangkul, menyiangi rumput, menanam jagung atau apapun pekerjaan yang ada. Salah satu dari kami biasanya ditugasi menyiapkan makan malam, sementara yang lain tetap bekerja di ladang. Sore hari, semua membersihkan diri, bersiap makan malam dan bagi yang bersekolah keesokan harinya, setelah makan malam, harus mengeluarkan buku pelajaran, entah itu mengerjakan pe-er, atau sekedar membaca. Semua harus siap, karena jam 9 malam, semua harus tidur. Rumah kami yang jauh dari keramaian saat itu hanya mengandalkan listrik dari batere aki buat menyalakan tipi dan lampu petromak buat penerangan malam. Jam 9 malam, lampu petromak akan dimatikan, TV tidak boleh lagi menyala dan penerangan hanya denga lampu minyak kecil buat menemani tidur. Jam malam yang lebih dari jam 9 malam hanya berlaku malam minggu atau malam hari libur lainnya. Ini adalah rutinitas yang diterapkan dan sangat disiplin ditegakkan oleh ibu saya. Saya rasa, karena aktifitas kami yang penuh seharian (apalagi aktifitas berladang), gelapnya malam dan rumah yang jauh dari keramaian membuat tidur kami menjadi tidur yang berkualitas :P

Bersambung....